KRISIS EKONOMI INDONESIA : TERJADINYA,
DAMPAKNYA, DAN PEMECAHANNYA
Dahlia Suhaeli
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca
berjalan dan utang luar negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional
sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia
melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke
arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari
tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar
negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18
bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah
jumlahnya menurun. Sebab yang kedua
adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga
adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan
mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan
keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik
menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto
pada waktu itu.
Sementara menurut
penilaian penulis, penyebab utama
dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor
satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi
pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai
faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1.
Dianutnya sistim
devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut
rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang
yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas
membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas
diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di
pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2.
Tingkat depresiasi
rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar
nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah
dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif
lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam
negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor.
Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang
negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam
negeri relatif mahal, sehingga masyarakat
3.
memilih barang impor yang kualitasnya lebih
baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang
kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat
rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan
nilai tukar yang nyata.
4.
Akar dari segala
permasalahan adalah utang luar negeri
swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat
tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang
jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22), ditambah
sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang
sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah
jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit
berkurang (oustanding official debt).
Ada tiga
pihak yang bersalah di sini, pemerintah,
kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi
signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman
dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi
relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk
menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan
dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama.
Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini
terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus
meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian
pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu
pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta
luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan
dibentuknya tim PKLN.
Bagi
debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar
ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam
teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of
thinking, di mana pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang
yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya
melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha
lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati
dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998:
5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung
sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau masalahnya
hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga
cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow yang
kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun
masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari
sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri
pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat
bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998
besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar
antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar.
Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution:
12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih
biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22),
misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya
menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah
(bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang
tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan
pembayaran kembalinya.
Pinjaman luar
negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola
secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk
proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga
jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali
(Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif
besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor
investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah
seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri,
shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10).
Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan
mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa
diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para
financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan
moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur.
Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi
investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai
mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS
untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
5.
Permainan yang
dilakukan oleh spekulan asing
(bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa
yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil
bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi
perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari
sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank
Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan
ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka
tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian
dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli
rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar
AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat,
dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS
(Wessel et al., hal. 1). Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang
berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih
dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk
Indonesia (Nasution: 1; IMF Research Department Staff: 10; IMF, 1998: 5).
Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur
dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15
Januari 1998).
6.
Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten
dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini
menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini
dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya
kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi
krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak
mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan
mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan
cepat (World Bank, 1998: 1.10).
7.
Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff:
10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih
besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah
nilai tukar rupiah yang sangat overvalued,
yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan
dengan produk dalam negeri.
8.
Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diming-imingi keuntungan yang besar yang
ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik
dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4;
Greenwood). Selisih tingkat suku bunga
dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh
keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh
tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986
menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar
Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus
mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang
tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga
terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko
(IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World
Bank, 1998, p. 2.1).
9.
IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia
juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang
menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari
pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar
baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain
yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai.
IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di
Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
10. Spekulan domestik
ikut bermain (Wessel et al.,
hal. 22). Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri,
tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
11. Terjadi krisis
kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan
masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot
dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin
besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah
sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri
mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997
hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri
karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World
Bank, 1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu
yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat
ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai
sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka
membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan
investasi baru.
12. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah
terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS
dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena
mata uang negara-negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing
negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang
melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun
1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang
dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen,
sehingga menimbulkan krisis keuangan. (Ehrke: 2).
Di lain pihak harus
diakui bahwa sektor riil sudah lama
menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah
terakumulasi selama bertahun-tahun masih
bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi disalokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente
ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan
merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan
oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk
proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar
negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun
kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai
tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena
terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan
akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang
menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan
yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah
pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan
nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap
kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang
nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan
politik.
IMF DIKRITIK :
Banyak
kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani
krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu
seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan
(2) program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu
(Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada
tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat
program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat
bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis,
sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu
pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja
negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun
anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh
bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk
menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus
dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk
menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi
yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999
terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena
kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar rupiah,
semakin besar defisit yang terjadi dalam
anggaran belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana
mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.
J. Stiglitz, pemimpin
ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap
negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan
resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”,
yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari
pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS.
(Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap
ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang
dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution mengkritik
bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak
ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus
anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin
dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah
peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada
program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi
untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF
untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa
“IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak,
perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi
politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada
fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini,
menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya
pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan,
bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan adanya konsistensi
antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan kelenturan dengan
mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan
jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan
moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas
kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.
(Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga
ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan
BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang
bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan
moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup
sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada
dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak
mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak
diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank
Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat
beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan
pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan
nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari
persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar yang
harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF
bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang
melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat
ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya
yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah
mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada
tahun 1996 dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya
secara bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan
Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan
ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan
pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar
dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan
pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat,
menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena
badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan
juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya
mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak,
kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan
tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya
bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran IMF untuk
menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat,
menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,
dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan
petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998;
butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara
langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada
Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan
yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil
kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan
mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang
didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan
negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang
berkepanjangan dapat dicegah. IMF
sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-putar
pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan
sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan
khusus dari negara-negara maju yaitu membuka peluang investasi yang
seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan
Indonesia.
Di lain pihak memang
harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia,
karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di
pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek
untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan
menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih
program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan
kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar.
DAMPAK DARI KRISIS :
Dewasa ini semua
permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs nilai tukar
valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan
pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun
ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali
sebagian sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah
yang tajam secara umum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga
telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM/tarif
listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau mengurangi produksinya
karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi
menurun karena impor barang modal menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak.
Dampak lain adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa bulan terakhir ini,
yang bukan disebabkan karena imported inflation[4], tetapi lebih tepat jika
dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisa dipecahkan
secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang
wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar
kembali dan harga-harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh
masyarakat, meskipun tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.
Pada sisi lain merosotnya
nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah. Secara umum impor barang
menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman
anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih
besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah
meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang
berbasis pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan
merosotnya nilai tukar rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar
negeri. Hasilnya adalah perbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis
ekspor penghasilannya dalam rupiah mendadak melonjak drastis, sementara bagi
konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi dan sebagainya ikut naik.
Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak terjadi, bahkan
cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun
penerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan
ekspor dalam valas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga
menekan harganya karena tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara
produsen lain juga mengalami depresiasi dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa
menurunkan harga jual dalam nominasi valas. Hal yang serupa juga terjadi untuk
ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan lain untuk meningkatkan
ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan sosial-politik yang
belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan barangnya ke
negara lain.
Sebagai dampak dari
krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 ini jumlah keluarga
miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan
program-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar
rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan
yang berkurang karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat
tajam karena tingkat inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa
dikembalikan ke nilai nyatanya maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social
safety net ini bisa dikurangi secara drastis. Namun secara keseluruhan dampak
negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak
positifnya.
SARAN :
1.
Karena Indonesia
telah menanda-tangani persetujuan program reformasi struktural ekonomi dengan
IMF, maka pemerintah juga harus melaksanakannya dengan konsekuen, terlebih lagi
karena bantuan IMF ini terkait dengan bantuan negara-negara donor lainnya yang
jumlahnya sangat besar. Pemerintah melaksanakan reformasi dan restrukturisasi
sektor riil dan keuangan secara konsekuen untuk memperkuat fundamental ekonomi
Indonesia. Makin cepat pemerintah melaksanakan program-program reformasi, makin
cepat juga dananya cair. Yang nanti akan menjadi masalah adalah bagaimana
membayar utang bantuan darurat yang mencapai US$ 46 milyar tersebut di samping
utang-utang pemerintah dan swasta yang ada. Namun pemerintah, dalam hal ini
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus bertindak proaktif menghadapi IMF
dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan menolak program-program yang tidak
relevan dan cenderung merugikan Indonesia.
2.
Mengusahakan
penundaan pembayaran utang resmi pemerintah berupa pembayaran cicilan pokok dan
bunga selama misalnya dua tahun melalui Paris Club. Sejauh ini Indonesia memang
selalu patuh untuk membayar semua utang-utangnya secara tepat waktu, yang juga
selalu mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan IMF. Namun dalam keadaan krisis
yang parah ini, apa salahnya jika Indonesia meminta penundaan waktu pembayaran
kembali utang? Nama Indonesiapun tidak menjadi jelek karenanya, sebab Paris
Club adalah instrumen internasional yang memang khusus dirancang untuk membantu
negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi masalah pembayaran kembali
utang-utang luar negeri pemerintah. Sementara ini sudah banyak negara sedang
berkembang yang memanfaatkan fasilitas ini. Dengan demikian, Indonesia bisa
bernapas untuk memperkuat posisi cadangan devisanya. Sebab menurut APBN tahun
1998/99 jumlah pembayaran cicilan utang pokok luar negeri beserta bunganya
mencapai US$ 7.560 juta, sementara pinjaman luar negeri baru sebesar US$ 6.450
juta. Jumlah ini sangat berarti untuk memperkuat cadangan devisa negara.
Seandainya Indonesia tidak menerima bantuan barupun, maka masih ada selisih
positif sebesar lebih dari US$ 1 milyar yang bisa dihemat. Keuntungan dari
penundaan pembayaran utang ini adalah, bahwa beban utang tidak menjadi
bertambah, hanya saja jangka waktu pembayaran kembalinya saja yang lebih
panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik. Bila Jepang
hanya mau membantu dengan dengan menambah pinjaman baru, berarti bahwa beban
utang termasuk pembayaran bunga untuk di kemudian hari akan bertambah besar.
Penjadwalan kembali pembayaran utang resmi pemerintah ini juga akan banyak
membantu meringankan defisit anggaran belanja, terlebih lagi dengan semakin terpuruknya
nilai tukar rupiah semakin besar pula defisit dalam anggaran belanja negara
yang harus ditutup. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dan telah dicapai
kesepakatan, bahwa Indonesia akan menunda pembayaran cicilan utang pokoknya
saja.
3.
Menstabilkan nilai
tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued ketika regim
managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk membiarkannya sedikit
undervalued untuk meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsang
produksi dalam negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari
dengan memperhatikan kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi
rupiah tidak lebih rendah dari depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit
anggaran belanja negara bisa ditekan, juga tingkat inflasi, pembayaran utang
luar negeri pemerintah dan swasta dalam rupiah dapat ditekan sehingga mampu
dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik dan pakan ternak, harga barang-barang
produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuk sembako dan pabrik-pabrik
beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapat bekerja kembali, jumlah
penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan keamanan sosial tidak lagi
diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestik dan luar negeri
dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggi untuk
menahan impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan daya saing
produk dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dari
luar negeri hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih
mahal, yang semuanya mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing
ekspor masih cukup tinggi, sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini
disadari sebagai hal yang utama dan yang paling mendesak untuk mengakhiri
krisis ini, maka seluruh daya upaya dan pikiran dapat diarahkan untuk
memecahkan persoalannya. Kebijakan depresiasi nilai tukar yang relatif besar
dampaknya sama seperti kebijakan proteksi produksi dalam negeri, karena merubah
perbandingan harga antara barang dalam negeri yang tidak memiliki kandungan
impor tinggi dengan harga barang luar negeri dengan menguntungkan harga barang
dalam negeri. Dengan adanya depresiasi yang relatif besar, maka akan lebih
mudah bagi pemerintah untuk menurunkan proteksi sebagaimana diminta oleh IMF,
AFTA, APEC dan WTO. Dengan meningkatnya daya saing produk dalam negeri, hal ini
akan mendorong peningkatan ekspor dan menekan impor.
4.
Pemerintah
Indonesia sebagai pihak yang paling parah terkena krisis moneter, hendaknya
berperan lebih pro-aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN,
dan sebagainya untuk mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda
banyak negara Asia Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar
mata uang masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan
mengajukan gagasan-gagasan pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya
pertemuan-pertemuan dengan segera. Hingga kini sikap pemerintah Indonesia
terkesan pasif.
5.
Mengadakan negosiasi
ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para kreditor untuk meminta
penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh Tim Penanggulangan
Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt Restructuring Agency
(INDRA).
6.
Mengembalikan
stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga bisa memulihkan
kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.
7.
Untuk
mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di dalam
negeri, pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan operasi swap, apalagi
didukung oleh cadangan devisa pemerintah yang semakin membesar.
8.
Menghalangi
kemungkinan kegiatan spekulasi valas besar-besaran dengan mempelajari
kemungkinan melakukan pengawasan devisa secara terbatas tanpa melepas prinsip
regim devisa bebas atau melanggar kesepakatan dengan IMF, misalnya transfer
pribadi dibatasi sampai jumlah tertentu, US$ 10.000. Selanjutnya tidak memberi
peluang untuk memperdagangkan rupiah atau menaruh deposito Rupiah di luar
negeri. Deposito valas hanya boleh di bank-bank devisa dalam negeri dan tidak
boleh ditempatkan di luar. Krugman juga menganjurkan memungut pajak atas dana
yang masuk dan membuat peraturan yang menghambat pengiriman dana ke luar (lihat
Wessel dan Davis, hal. 16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar